4 Modal Etis Menulis Artikel Opini oleh Wahyu Wibowo (TSmart, 2018, 171 halaman).
Pikiran atau ide terekspresi melalui dua medium: wicara dan tulisan. Bila yang pertama tertuang lewat mulut, yang terakhir tertoreh di atas kertas. Sementara yang tertuang via mulut menguap entah ke mana, yang tertulis senantiasa lestari.
Itu sebabnya, lewat tulisan, generasi kiwari bisa merengkuh hukum-moral dari pikiran-pikiran penulis terdahulu. Sebutlah Pramoedya Ananta Toer, bila bergenre sastra. Inilah salah satu nilai positif dari tulisan.
Namun, tulisan, di era daring, adakalanya menyandang nilai negatif, baik karena terbalut kepentingan yang disengaja maupun kecerobohan karena ketakcermatan. Sebutlah hoax yang hari-hari ini bertebaran di medsos.
Melalui buku 4 Modal Etis Menulis Artikel Opini, Wahyu Wibowo merumuskan nilai-nilai yang sebaiknya diberdayakan dan diejawantahkan ketika seseorang hendak menulis opini.
Setali dengan judulnya, dipaparkanlah caturmodal (empat modal) kepantasan untuk memandu seorang penulis opini. Caturmodal itu diantaranya kerampingan, kecermatan, kekritis-reflektifan, dan kejernihan. Kecaturmodalan etis itu diuraikan Wahyu secara runtut nan logis.
Menulis opini di media massa, baik cetak maupun daring, selayaknya berkalimat pendek. Inilah yang dimaksud dengan kerampingan. Kalimat yang ramping menyamankan mata pembaca.
Di sisi kerampingan, beropini dalam tulisan jua hendaknya mencermati format lazim artikel-opini. Caranya: membaca surat kabar yang hendak disasar, seumpama harian Tempo atau Kompas.
Di situ, pada halaman rubrik opini tersaji contoh-opini yang dibangun penulisnya, yang biasanya terdiri atas tiga format universal: teras, bodi, dan penutup.
Bila modal ramping dan cermat menitikberatkan pada bentuk, modal berpikir kritis-reflektif bertumpu pada kognitif penulis opini. Tentu, guna meluaskan pandangan masyarakat karena refleksif penulisnya, penulis opini yang kritis juga berfungsi menepis hoax.
Di sisi lain, penulis opini sebaiknya berpatokan pada kriteria kebenaran, yaitu koherensi, korespondensi, dan pragmatik (hlm. 101–107). Ketiganya bukan hal baru, melainkan teori yang telah lama dikenal dalam bidang filsafat untuk mengukur kebenaran suatu argumen. Bila kebenaran berbasis koherensi bertumpu pada konsistensi argumen, korespondensi lebih mengarah pada kesesuaian fakta dengan pernyataan, sedangkan kebenaran pragmatis berarti opini penulis lebih menitikberatkan pada kebergunaan atau utilitas suatu ide yang diyakinbenarkan.
Sementara itu, modal keempat adalah jernih. Kejernihan opini bisa disiasati via menelaah editorial atau tajuk surat kabar. Redaktur mengeksplisitkan pandangan surat kabar atau media tempatnya bernaung terhadap isu-isu aktual. Fungsinya: menanggapi isu yang disoroti harian tersebut. Artikel opini yang menyoroti topik editorial lebih berpeluang dimuat dibanding dengan yang tidak. Jadi, bila hendak mengirim opini ke harian Kompas atau Tempo, simaklah editorial atau tajuk rencana pada harian mereka.
Dus, caturmodal etis itu bila dibarengi dengan gagasan penulis ke dalam artikel opini, percaya dirilah dan lantas dikirimkan. Bagaimana tidak, idenya bagus, etis pula!
Sayang, buku yang ditulis dosen Universitas Nasional (Unas), Jakarta, ini bukan berarti tancacat, semini apapun ia. Buktinya, kata yang sebenarnya “kebencian”, malah tertulis “kebendian”, sebagaimana terpampang di paragraf pertama di baris-ketiga pada sampul-belakang buku yang relatif tipis ini. Sungguh, itu tak terjadi bila editornya cermat, sebagaimana salah satu modal (kecermatan) yang telah teruraikan panjang-lebar oleh penulisnya.
Kendati begitu, kecerobohan kecil itu tak mengganggu sumbangan etis penulis terhadap literatur kepenulisan di Indonesia. 4 Modal Etis Menulis Artikel Opini cocok bagi mereka yang memerlukan panduan normatif untuk beropini lewat tulisan di surat kabar cetak ataupun daring, bahkan sekadar memosting opini via medsos.
Artikel yang baik