Kategori
Artikel Hubungan Internasional Teori

Realisme Klasik dalam Hubungan Internasional

Realisme klasik adalah sebuah perspektif tradisional dalam studi Hubungan Internasional yang muncul dengan kritikannya terhadap perspektif idealisme atau liberalisme klasik.

Realisme klasik merupakan teori arus utama dalam perspektif realisme dalam studi Hubungan Internasional (HI).

Realisme klasik berbeda dengan teori neorealisme dan realisme neoklasik. Namun, dua teori terakhir bertumpu pada realisme klasik terutama asumsi dasarnya, yaitu sistem internasional yang bersifat anarki.

Tulisan ini mengulas seringkas mungkin apa itu teori realisme klasik dalam studi HI termasuk latar belakang kemunculannya, asumsi dasar, fokus analisis, dan tokoh utamanya.

Apa itu realisme klasik hubungan internasional?

Pada dasarnya, realisme klasik adalah teori tradisional dalam studi HI yang berfokus pada isu keamanan nasional dan perjuangan untuk meraih kekuasaan (struggle for power). Ia bersifat tradisional atau klasik dalam arti pendekatan dalam menjelaskan atau memahami fenomena bertumpu pada catatan sejarah dan pemikiran filsafat, bukan pendekatan ilmiah yang sistematis.

Munculnya realisme klasik dan alasannya

Kapan realisme klasik muncul dalam studi HI?

Menurut Jørgensen (2018), realisme klasik muncul sejak 1930-an hingga 1980-an. Pada rentang waktu tersebut, dekade 1950-an merupakan masa kejayaan realisme klasik (Jørgensen, 2018, hlm. 89). Hal ini dapat dimaklumi karena pengaruh dari publikasi tokoh realis klasik seperti Edward Carr dengan karyanya The Twenty Years’ Crisis, 1919—1939 yang terbit pada 1930 dan menyusul Hans Morgenthau dengan bukunya Politics Among Nations yang terbit pada 1948.

Lalu, apa yang melatarbelakangi kemunculannya dalam studi HI?

Realisme klasik tidak puas dengan penjelasan idealisme. Teori realisme klasik mengkritik teori idealisme yang optimistis terhadap kemungkinan tercapainya perdamaian dunia dengan mendirikan organisasi internasional. Kebalikan dari itu, realisme klasik umumnya pesimis akan dunia yang damai.

Menurut anggapan teori idealisme, khususnya pemikiran Woodrow Wilson, perdamaian dunia bisa dicapai dengan membentuk organisasi internasional yang akan mengakhiri perang (baca: Perang Dunia I) ketika itu (Jackson & Sørensen, 2013/2014). Ide organisasi internasional lantas terwujud melalui pendirian Liga Bangsa-Bangsa pada 10 Januari 1920. Namun, ide mulia itu “retak” dengan pecahnya Perang Dunia II ketika Jerman menginvasi Polandia pada 1 September 1939.

Baca juga:  Pengertian Organisasi Internasional: Karakteristik, Fungsi, Peran

Perang tersebut kian mengukuhkan pandangan realisme klasik sebagai perspektif yang lebih tepat dalam memandang politik internasional.

Akan tetapi, realisme klasik merupakan teori tradisional karena menitikberatkan pada pendekatan sejarah dan filsafat. Dengan kalimat lain, ketradisionalannya itu karena konteks kemunculannya dalam studi HI sebelum revolusi behavioral dalam ilmu politik (Bakry, 2019).

Tujuan revolusi itu adalah untuk menggantikan ilmu sosial (termasuk politik dan hubungan internasional) menjadi ilmu yang berlandaskan saintifik, yakni melalui metode ilmiah.

Jadi, baik realisme maupun idealisme berbeda dengan perspektif atau teori yang lahir setelah revolusi behavioral seperti neorealisme atau neoliberal yang bersifat saintifik.

Asumsi dasar realisme klasik hubungan internasional

Asumsi dasar adalah anggapan di balik pandangan atau konsep untuk menggambar dan menjelaskan sesuatu. Ia menjadi tumpuan suatu perspektif atau paradigma tertentu dalam memandang fenomena untuk dijelaskan atau dipahami.

Berikut asumsi dasar realisme klasik:

1. Manusia hakikatnya egoistis

Manusia itu mahluk yang selalu mementingkan diri sendiri. Egoistis manusia dipersonifikasi ke dalam hubungan internasional: negara selalu mementingkan diri sendiri. Ini berarti negara selalu mementingkan kepentingan nasionalnya.

Kepentingan nasional merupakan salah satu konsep utama teori realisme hubungan internasional. Selain konsep utama, kepentingan nasional itu juga sebagai nilai dasar realisme klasik dalam menjaga keamanan dan keberlangsungan negara (Jackson & Sørensen, 2013/2014).

2. Struktur hubungan internasional bersifat anarki

Dalam pandangan realisme, hubungan internasional atau politik dunia itu berkembang dalam sistem yang anarki (Jackson & Sørensen, 2013/2014).

Anarki adalah sistem yang di dalamnya tidak ada kekuasaan yang lebih besar untuk mengendalikan negara-negara. Ini berarti tidak ada otoritas pusat “yang bisa memaksakan aturan hukum dan menjamin ‘yang bersalah’ dihukum” (Steans & Pettiford, n.d./2009, hlm. 46).

Baca juga:  Pentingnya Diplomasi Komersial bagi Sebuah Negara

Anarki juga yang membedakan politik internasional dan politik domestik (nasional) yang sifatnya hierarki. Misalnya, dalam politik domestik, pemerintah pusat mengatur dan mengawasi jalannya sistem politik (serta hukum dan sebagainya) domestik negaranya.

Hal ini berbeda dengan politik internasional yang tak memiliki otoritas yang dapat menghukum manakala ada negara-negara yang, misalnya, melakukan kesalahan. Apa lagi jika yang bersalah itu negara great power, seperti Amerika Serikat, Rusia, dan lainnya.

Asumsi dasar anarki jugalah yang mendasari pesimisme kalangan realisme klasik akan ide pendirian Liga Bangsa-Bangsa dari teori idealisme.

3. Negara sebagai aktor tunggal

Realisme klasik berasumsi bahwa aktor utama sekaligus aktor tunggal dalam hubungan internasional adalah negara.

Negara merupakan aktor utama yang berinteraksi di dunia yang penuh persaingan.

Oleh karena itu negara berperan signifikan dalam hubungan internasional.

Aktor non-negara seperti organisasi internasional, perusahaan multinasional, LSM internasional, tidak berpengaruh. Mereka dikendalikan aktor utama hubungan internasional, yakni negara.

4. Realitas hubungan internasional itu konfliktual

Dunia hubungan internasional selalu berada dalam arena konfliktual.

Konfliktual berarti masing-masing negara berjuang untuk meraih kekuasaan, sebagaimana premis dasar tokoh realisme hubungan internasional Hans Morgenthau (Rosyidin, 2022).

5. Sejarah selalu berulang

Fenomena perang akan selalu berulang karena realitas internasional diwarnai konflik. Itu tidak bisa diubah menuju dunia yang damai. Karena selalu berulang, fenomena perang memiliki pola berdasasarkan sejarah masa lalu. Itulah yang dimaksud asumsi dasar sejarah selalu berulang dari realisme klasik

Fokus analisis realisme klasik

Apa yang menjadi fokus realisme klasik? Lebih sempit lagi, apa yang menjadi fokus analisisnya?

Berangkat dari asumsi dasarnya, teori realisme klasik dalam hubungan internasional berfokus pada kekuasaan (power), politik (politik luar negeri), kepentingan nasional, perimbangan kekuasaan (balance of power), atau penyebab perang (Bakry, 2017, hlm. 95-97). Selain itu, dimensi kepemimpinan juga merupakan fokus realisme klasik (Jackson & Sørensen, 2014).

Kekuasaan merupakan konsep inti realisme. Negara-negara berupaya untuk meraih kekuasaan dengan alat kekuasaan yang mereka punya. Kekuasaan sebagai alat sekaligus tujuan. Ia merupakan fokus realisme.

Baca juga:  Ruang Lingkup Hukum Perdata Internasional, Apa Saja?

Politik juga fokus analisis realisme. Bahkan nama realisme klasik sering disebut sebagai realisme politik (Bakry, 2017).

Kepentingan nasional pun konsep inti realisme. Negara berupaya memengaruhi negara lain karena kepentingan nasional tertentu yang harus diraih.

Selain itu, perimbangan kekuasaan juga merupakan fokus realisme klasik. Perimbangan kekuasaan adalah sebuah situasi ketika dua negara berkekuatan besar berupaya meningkatkan postur pertahanan dan keamanan demi tercapai keseimbangan guna mencegah perang atau dominasi.

Bertalian dengan itu, kepemimpinan yang menjadi fokus realisme klasik adalah kepemimpinan yang bertanggung jawab terhadap bagaimana sebuah negara berupaya mengimbangi kekuatan lawan. Aspek kepemimpinan ini merupakan konsep yang bersifat normatif (Jackson & Sørensen, 2013/2014). Artinya, negarawan berupaya secara bijak memikirkan hingga mengupayakan tercapai kepentingan nasional, terutama keamanan dan kelangsungan negara.

Aspek kepemimpinan merupakan ciri khas realisme klasik, yang membedakan dengan neorealisme ataupun realisme neoklasik.

Fokus-fokus analisis tersebut tentu dikaitkan dengan negara sebagai aktor utama.

Yang perlu dipahami, konsep-konsep realisme klasik ini dibangun dengan berlandaskan pada asumsi dasar yang telah diulas di atas.

Tokoh realisme klasik hubungan internasional

Tokoh atau teoretikus realisme klasik di antaranya:

  1. Edward Carr
  2. Hans Morgenthau
  3. Reinhold Niebuhr
  4. Frederich Schuman
  5. Georg Schwarzenberger
  6. George Kennan
  7. John Herz
  8. Henry Kissinger
  9. Raymond Aron
  10. Inis Claude.

Para tokoh atau teoretikus tersebut terinspirasi dari pemikiran Thucydides, Niccolò Machiavelli, dan Thomas Hobbes.

Kesimpulan

Pada akhirnya, hubungan internasional merupakan kontestasi antarparadigma atau teori dalam upaya menjelaskan fenomena hubungan internasional. Realisme klasik merupakan teori tradisional dalam perspektif atau paradigma realisme yang melihat fenomena hubungan internasional secara pesimistik.

Kepentingan nasional berupa keamanan merupakan penentu kebijakan sebuah negara dalam isu internasional. Kepentingan itu disetir oleh kepimimpinan atau negarawan yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup negaranya.

Meski begitu, realisme klasik merupakan pendekatan tradisional yang bertumpu pada pendekatan sejarah dan filsafat karena muncul sebelum revolusi behavioral.


Referensi

  • Bakry, U. S. (2017). Dasar-Dasar hubungan internasional. Kencana.
  • Bakry, U. S. (2019). Metode penelitian hubungan internasional. Pustaka Pelajar.
  • Jackson, R., & Sørensen, G. (2014). Pengantar studi hubungan internasional: Teori dan pendekatan (Edisi kelima, D. Suryadipura & P. Suyatiman, Penerjemah). Pustaka Pelajar. (Karya asli diterbitkan 2013).
  • Jørgensen, K. E. (2018). International relations theory: a new introduction (2nd ed.). Palgrave.
  • Steans, J., & Pettiford, L. (2009). Hubungan internasional: Perspektif dan tema (D. S. Sari, Penerjemah). Pustaka Pelajar. (Karya asli diterbitkan n.d.).
Bagikan ini:

Oleh M Isnain Abd Malik

Seorang penulis konten web dan peresensi buku. Dia lulusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Jayabaya, Jakarta, Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *